Kamis, 21 Juli 2011

catatan

Hitam-putih, benar-salah. sebuah hukum yang terus menjadi tolak ukur seseorang. Tak habis-habisnya sesorang diwarnai oleh warna tersebut, warna-warna itulah yang telah menutup warna-warni kehidupan.

Selaksa kita duduk di sebuah pengadilan, lalu menyaksikan jaksa penuntut, dan pembela saling beradu argumen. Semua argumen terpusat untuk sesorang yang bernama terdakwa, begitu pula sang hakim.

dan sepertinya hal tersebut sengaja dibangun, dari pendidikan yang kita enyam bagaimana pendidikan yang terbangun hanya bagaimana kita bebicara tentang benar dan salah, lalu kita mengenyam segala macam perdebatan tentang kebenaran, kebanaran adalah..........................
semunya membawaku kepada banyangan bahwa pendidikan yang telah dianyam adalah hanya untuk menentukan sebuah keputusan antar hitam dan putih atau salah dan benar. Dari mengerjakan tugas, ulangan dan segala macam. Dan jika semua yang nilai di bawah maka siap-siap menajadi terdakwa dari sebuah pengadilan.
begitupula para pengadili meraka belajar warna hanya untuk menentukan hitam dan putihnya terdakwa seseorang terdakwa. Dan seandainya terdakwa adalah aku, kamu dan kalian lalu apa yang kalian lakukan?

Dengan mengagap setiap perkataan dari terdakwa adalah hanya sebagai alibi belakang.
Tak ubahnya bahwa setiap kata-kata yang terlontar dari terdakwa hanya sampah yang tak lagi ada nilainya sama sekali. lantas untuk pula kita bersua. maka tak ada pilihan bagi terdakwa selain menggantungkan nasib untuk sebuah warna hitam dan putih.


Terkadang dari pada bersua lebih baik diam, ada yang mengatakan bahwa diam juga adalah emas benarkah demikian? iya, dengan diam kita bisa mendengar beberapa orang yang sedang berceloteh, atau juga dengan diam membiarkan diri kita lenyap dari peredaran.

Rabu, 20 Juli 2011

Kutukan Hari Senen

lalu hanya sebuah gerundelan, atau umpatan, dan bisa juga keluhan yang tak tahu secara pasti apa yang menjadi penyebabnya. semua itu terjadi, saat nama hari itu datang, dia begitu saja datang tanpa diundang.

Rasanya seperti baru kemarin aku telah melaluinya, dan kini semuanya nampak dengan jelas. Dan saat itu pula, aku berkehendak melarikan diri, atau mengumpet, kalau perlu membunuhnya.

Pernah suatu ketika aku mencoba mengelak darinya, bahkan bisa dikatakan membunuhnya, dengan cara mencoret nama, namun apa yang terjadi? Namun, semua terasa sia-sia, dan apa yang terjadi? Ia tertawa, yang tawanya semakin nyaring terdengar, bahkan semakin menjadi-jadi.

Tak hanya tawaan yang terdengar, ejekkan hinggap lalu memakiku, ia terus menderu bak mesin, atau gerumbulan lalat yang terus mengiang dalam benak. Sekuat apapun aku berlari, ia terus mengejarku.

perstan dengan nama itu, namun kata-kata tersebut bukannya membuat kau semakin tenang, aku hanya berusah menghibur diri saja, terkadang juga menghibur dirinya dengan makian yang lain.

Lalu menulisnya dengan sebuah huruf-huruf besar, dengan tinta berwarna merah. berharap bahwa tulisan tersebut dapat memberi penjelasan padanya, bahwa iya, aku membenci waktu yang datang secara tiba-tiba, setelah aku baru saja merasakan kenikmatan secangkir kopi, tanpa harus menatap dan mendengar orang berceloteh dengan menggunakan nalarnya, sebuah nalarnya yang telah berubah menjadi Tuhan.

Dan waktu itu juga, di mana aku harus terbangun dari mimpiku, hari yang mana aku harus menjalani kehidupan nyata, mengulang apa yang pernah terjadi, lalu membiarkan semuanya berlalu dan pada akhirnya terlupakan dan setelah datang aku mengutuknya kembali.

Lalu kenapa juga aku harus mengutuknya? Bukankah ini merupakan hari seperti hari yang pernah terlewatinya. Mungkin kedatangan hari itu, berupa hari Senen sebuah awal dari perjalanan akan sebuah rutinitas, atau juga karena aku merasa tersadarkan bahwa waktu ngopi pada hari santai telah usai. Tapi yang ku tahu bahwa aku mengutuknya.