Minggu, 30 Oktober 2011

si Biru Kembali Untuk Beraksi



kembalinya si Biru Kembali Untuk Beraksi, beraksinya si biru bukan perang menumpas kejahan dan membela kebenaran. Sebagaimana kisah-kisah para pendekar yang turun gunung untuk menumpas kejahatan dengan ajian pemungkas.

Si biru hanya sebuah vespa yang terlahir tahun 1974 dan untuk sekarang telah dimasukan ke barang antik. Dan karena antiknya, ia harus beristirahat untuk entah berapa lamanya.Sesuai cukup untuk beristirahat, kini si biru kembali beraksi, sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Pada aksi kali ini, ia melaju dengan kecepatan yang cukup cepat menembus deras hujan yang mengguyur Ciputat dan sekitarnya,(28/10). Hujan yang mengguyur semenjak adzan magrib. Bahkan si biru dipaksa untuk lebih mengeluarkan kemampu agar datang sebelum acara dimulai pada jam 20.00 WIB.

Sebuah acara yang diadakan oleh kawan-kawan mahasiswa Swadarma, Pondok Cabe (Tangsel). Dan memang saya telah mengikat janji dengan sahabat-sahabat yang hendak melakukan perenungan terhadap Sumpah Pemuda.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Jalan Bersama si Biru

Foto: Dede/Angkringan

Setelah beberapa lama akhirnya si biru nyala jua, dan siap untuk berangkat. si biru yang merupakan vespa kepunyaan teman, dan untuk nama si biru merupakan julukan dari saya sendiri. Salah satu alasan kenapa vespa itu diberi nama biru, karena memang vespa itu berwarna biru.


Malam ini, selepas adzan Isya, (24/10), Vespa tahun 74 akan siap menyelip diantara kendaraan mengkilap, dan dengan suara yang khasnya, ia akan melaju santai di antara suara lembut kendaraan lainya. Meskipun terdapat kendaraan bermotor lainya, tapi entah mengapa saya lebih memilih si biru, mungkin rasa santai yang membuat saya memutuskan mengendarai si biru, atau perasaan kangen saya terhadap si Vepi, sebutan untuk Vespa Putih yang saya miliki.
Dan masih terdapat alasan yang lain, meskipun sering meropotkan sebagaimana yang terjadi saat beberapa meter dari kontrakan, tiba-tiba si biru berhenti, tepatnya di jalan depan sekolah Dua Mei, dan setelah dicek ternyata kehabisan bahan bakar.

Akhirnya tanpa pilihan yang lain, si biru terpaksa didorong, kira-kira mencapai 10 Meter, tiba-tiba seorang pengendara Vespa menghampiri, dan tanpa diminta, ia telah menawarkan jasanya untuk membantu mendorong.

Dan pada akhirnya si biru kembali siap untuk berteriak kembali, sebuah perjalanan tanpa tujuan, hanya bolak-balik jalan Bintaro- Kampung Utan, Lalu melajukan ke arah Ciputat. Sebelum sampai sampai Ciputat, tepatnya di depan masji Fattullah yang terletak berhadapan dengan UIN Jakarta, si biru singgah.

Berdiri kokoh di samping gerebak dorong, gerobak dorong yang menjual “Suja”, yakni sebutan untuk minuman Susu jahe. Mungkin karena kepanjangan, akhirnya dipendekan menjadi “Suja”.
Segelas suja, menghangatkan tubuh, dan melegakan tengggorakan siap untuk dinikmati. Tanpa basa-basi kuteguk saja, sambil nongkrong santai di trotoar menatap lalu lalang kendaraan bermotor. (Dede Supriyatna)

Senin, 17 Oktober 2011

Para orang gila

Saya, dan mungkin juga kamu atau kita adalah orang gila. Orang gila yang tak ingin disebut gila, karena kita mengagap bukan orang gila, lalu kita membuat sebuah bangunan agar bertujuan terciptanya sebuah pandangan mengenai orang gila, maka dengan demikian terciptalah sebuah definisi tentang orang gila, bahwa orang gila adalah mereka yang tak berbeda dengan kita, mereka yang tak normal, mereka yang tak mempunyai etika, atau lebih tepatnya adalah mereka yang terganggu pikirannya.

Maka jika kita sedang terganggu pikiran kita maka kita adalah bagian dari orang gila, dan untuk saat ini, sejujurnya saya sedang terganggu pikiranya, berarti saya bisa dikatakan bahwa saya orang gila, dan memang ini gila, mungkin lebih tepatnya sedang menjangkit penyakit gila, atau memeng telah lama gila.

Lalu belum lama ini, pikiran saya terbentur oleh masalah duit, dan pada akhirnya duitpun begitu menggoda untuk terus menetap dalam pikiran saya. Maka tanpa sadar entah untuk berapa hari lamanya pikiran saya selalu memikirakan tentang uang, apakah hal yang serperti ini bisa dikatakan gila, bahwa saya gila dengan uang. Sebab uang juga yang telah menggangu pikiran saya.

Dan belum lagi hal-hal yang lainnya, yang datang sama saja, seperti halnya uang, yakni segala sesuatu yang selalu mengendap dalam pikiran dan membuat saya penuh dengan kegilisahan sangat akut.

Entah dengan kalian semua, apakah kalian masih cukup norma?jika berani mengakui bahwa dirinya dalah gila, saya rasa itu lebih baik, tinggal menyebutkan gila uang, gila jabatan, dan gila perempuan. Paling tidak hal itu menjadikan sesorang gila.

Dan tinggal tunggu penyakit itu mengendap dan selalu memuncul agar aku lebih mengakui bahwa dari ini adalah gila, dan benar-benar gila. Bagaimana tidak, sebab gila sendiri telah memberikan kewarasan agar mengakui bahwa saya adalah gila. Dasar gila, memang gila

Sabtu, 10 September 2011

Takut


Pengecut kata yang tepat untuk melekat pada kata takut. Apa yangmenimbulkan perasaan takut tersebut datang? Dan seberap besar perasan itutakut? Munir seorang yang meninggal karena diracun dan hingga kini belum jelaskasus tersebut pernah mengatakan , banyangan lebih menakutkan dari padakenyataan itu sendiri.
Jika demikian ternyata ketakutan bisa bersifat semu, karenaimajinasi kita mengarahkan pada yang menakutkan. Sebuah imajinasi yangterbatas. Namun, sayang pembentukan dari imajinasi mengarahkan pada sesuatuyang horor, yang menekan pada posisi manusia yang seharus meredeka. Memang takjarang pada kenyataan manusia diawasi oleh ancamanan yang menjadikan manusiabenar-benar takut.
Bagaimana manusia dapat melepaskan diri dari ketakutan itusendiri? Untuk saat ini saya tak mempunyai jawaban. Sebab ketakutan sendiritelah membatu dalam tubuh ini, karena begitu kerasnya, saya pun sulit untukmengurainkan, terkadang menggigil untuk menghadapi dari perasaan takut itusendiri.
Terkadang pemberontakan hadir untuk meleyapkan rasa takuttersebut, tapi hasilnya selalu menciptakan rasa takut yang lain. Mungkin seandaimanusia selalu dicekam dengan perasaan takut, maka perasaan muak melahirkan pemberontakandalam tubuh. Berharap untuk merdeka

Minggu, 04 September 2011

Bunuh Diri


Kata-kata itu pastinya pernah terdengar, membacanya, ataumelihatnya secara langsung. Entah sudah keberapa kalinya media berbicaratentang orang yang mengakhiri hidupnya. Meskipun ada penjelasan latar belakangpenyebab dari bunuh dirinya tersebut.
Tapi, benarkah bahwa latar belakangnya hanyalah persoalanyang demikian, sebagaimana yang dituturkan oleh media, semisal karena persoalankondisi sosial yang berujung kepada kepasrahan. Terlalu menyederhanakanpermasalahan saja, atau terlampau mencari hal-hal yang tak tersentuh dalampersoalan bunuh diri.
Namun, jika ada yang berbicara bahwa hidup itu indah,tentunya kenapa ada sebagaian orang yang mengakhiri hidupnya. Mungkin jugakehidupan orang yang berkata hidup ini indah berbeda dengan pelaku bunuh diri,meskipun meraka dalam satu atap.
Siapa yang mampu menjelasakan itu semua? Atau hanya mengagapbahwa itu hanya sebuah fenomena biasa saja? Mungkin bukan juga untukdijabarakan penjelasan dari mesteri darikehidupan. Sebab setiap orang memiliki hal-hal yang memang berbeda, karena ituterkadang manusia akan dianggap unik. Tapi, keunikan manusia juga membawameraka untuk menjawab beberapa pertanyaan, yang hanya menjadi sebuahperenungan.
Pertanyaan seperti halnya untuk apa, siapa, dan kenapaa akudisini, dan jika berpikir bunuh diri maka ia akan memikirkan bagaimanamengakhrirnya semuanya. Pertanyaan-pertanyaan yang terus hadir dalam diriseseorang, dari mempertanyakan dengan dirinya sehingga membawa kelanjutan untukmempertanyakan cukup berartikah?
Kata tentang kebermaknaan bisa menjadikan pelarian akanpilihan untuk mengakhirinya, dan jika Albert Camus berkata bahwa penyebabbanyaknya bunuh diri disebabkan persoalan berartai atau tidak. Dengan pelihanyang dianggap sebagai solusi untuk menuntaskan persoalan bermakna atau tidakdengan cara pengakhiran hidup (Bunuh Diri).
Lalu bagaiamna dengan Galileo, meskipun ia tidak bunuh diri,tapi tanpa sadar ia telah melakukan bunuh diri, seandai ia mengelak darikenyakinan bahwa bumi yang mengelilingi matahari tentunya kematian tak tragis.
Pendapat yang sebenar tak terllua penting untuk menetukanmana yang mengelilingin apakah matahari atau bumi. Berapa mahal hargakebenaraan.

Sabtu, 03 September 2011

dunia

catatan tak penting,
kata dunia dengan tampilannya selalau menawarkan sisi lain dari kehidupan, iya mungkin ini yang disebut hidup atau lebih tepatnya kehidupan. Bagaimana tidak, tengok saja koin, dalam koin tersebut terdapat dua permukaan yang berbeda yang saling terikat dan tak bisa dipisahkan.
sepetti halnya bahagia dan sedih, keduanya berbeda tapi tak akan pernah bisa di lepas. meskupun demikian saya acapkali mengutuk yang namanya kesedihan, hal yang begitu bodoh sebab pengenalan terhadap kebahagiana melalui proses kesedihan.
namun tetapa saja bahwa kesediahan adalah sesuatu yang harus dilepas kalau bisa dibuang, atau dihindari. pelepasan dari kesedihan bisa dilakukan dengan berbagai cara yang jelas pelepasan itu untuk menujju kebahagian.
atas dasar itu pula mungkin ini yang dinamakan dengan pembelian terhadap kebahagiaan, untuk pembelian tersebut berapa harganya? semuanya tergantung, seperti halnya kita pergi ke diskotik, kita pergi berkreasi, atau hal-hal yang lainnya, yang pastinya adalah untuk mencapai kebahagiana yang dibuat-buat. sebab kebahagian datang dengan sendirinya. ini semua adalah menurut saya.

Rabu, 31 Agustus 2011

terbalik

Atas menjadi bawah, dan bawah menjadi atas, malam jadi siang dan siang menjadi malam. dan seperti memang dunia telah terbalik dalam kehidupanku, sudah entah berapa lama gangguan tidur malam selalu melanda  yang berdampak malampun dilalui dengan terjaga. 

Entah bagaimana mengakhirnya, bahkan makian, cercaan menghamtam diriku, sumpah serapah dan berharap untuk dapat tertidur walau hanya barang sekitar 5 menit saja.
beberapa resep aku coba dari mengikuti saran dari beberapa teman, artikel, dan segala macam. Tapi hasilnya sepertinya nihil.

Mungkin sudah taqdir yang tercipta karena  kebiasaanku begadang, dan berefek menjadi kebiasaan. iya, kebiasaan, kata-kata tersebut yang sering aku dengar dari ucapan-ucapan yang terlontar dari orang-orang. Dari kebiasan pun orang menjadi bisa, dan aku dari kebiasaan ini, sehingga membuatku tak dapat nikmati mimpi. Dan sungguh menyebalkan dan begitu menyiksa kebiasaan ini,

mungkin ini adalah salah satu kutukan yang melanda kehidupanku, walau pada awal mulanya aku begitu menikmatinya, tapi kala menjadi rutinitas, aku tak sanggup, dan berharap menyudahi saja. dan tulisan ini, hanya sebuah perjalanan dari kehidupan saya, yang mungkin tak kalian miliki, maka tak ada artinya bagi anda sekalian.

Minggu, 28 Agustus 2011

muak

mungkin ini yang sedang terasa, tapi entah apa. rasa ini terasa begitu absurb, mungkin itu yang cocok. ingin rasa mengumpat, namun umpatan itu akan tercurahkan kepada seiapa? akankah pada gelas-gelas yang biasa terdapat cairan berwarna hitam tak ada. kekesalan kian menjadi saat kumpalan putung rokok tak dapat diisap lagi. ditumpahkan kemana rasa ini, pada langit agar terdengar, hanya gaungan mengikuti ucapanku.
biarlah semuanya terasa hingga dan aku akan berlari-lari sampai aku merasakan lelah, atau mungkin sampai aku keluar dari kehidupan ini.

Kamis, 21 Juli 2011

catatan

Hitam-putih, benar-salah. sebuah hukum yang terus menjadi tolak ukur seseorang. Tak habis-habisnya sesorang diwarnai oleh warna tersebut, warna-warna itulah yang telah menutup warna-warni kehidupan.

Selaksa kita duduk di sebuah pengadilan, lalu menyaksikan jaksa penuntut, dan pembela saling beradu argumen. Semua argumen terpusat untuk sesorang yang bernama terdakwa, begitu pula sang hakim.

dan sepertinya hal tersebut sengaja dibangun, dari pendidikan yang kita enyam bagaimana pendidikan yang terbangun hanya bagaimana kita bebicara tentang benar dan salah, lalu kita mengenyam segala macam perdebatan tentang kebenaran, kebanaran adalah..........................
semunya membawaku kepada banyangan bahwa pendidikan yang telah dianyam adalah hanya untuk menentukan sebuah keputusan antar hitam dan putih atau salah dan benar. Dari mengerjakan tugas, ulangan dan segala macam. Dan jika semua yang nilai di bawah maka siap-siap menajadi terdakwa dari sebuah pengadilan.
begitupula para pengadili meraka belajar warna hanya untuk menentukan hitam dan putihnya terdakwa seseorang terdakwa. Dan seandainya terdakwa adalah aku, kamu dan kalian lalu apa yang kalian lakukan?

Dengan mengagap setiap perkataan dari terdakwa adalah hanya sebagai alibi belakang.
Tak ubahnya bahwa setiap kata-kata yang terlontar dari terdakwa hanya sampah yang tak lagi ada nilainya sama sekali. lantas untuk pula kita bersua. maka tak ada pilihan bagi terdakwa selain menggantungkan nasib untuk sebuah warna hitam dan putih.


Terkadang dari pada bersua lebih baik diam, ada yang mengatakan bahwa diam juga adalah emas benarkah demikian? iya, dengan diam kita bisa mendengar beberapa orang yang sedang berceloteh, atau juga dengan diam membiarkan diri kita lenyap dari peredaran.

Rabu, 20 Juli 2011

Kutukan Hari Senen

lalu hanya sebuah gerundelan, atau umpatan, dan bisa juga keluhan yang tak tahu secara pasti apa yang menjadi penyebabnya. semua itu terjadi, saat nama hari itu datang, dia begitu saja datang tanpa diundang.

Rasanya seperti baru kemarin aku telah melaluinya, dan kini semuanya nampak dengan jelas. Dan saat itu pula, aku berkehendak melarikan diri, atau mengumpet, kalau perlu membunuhnya.

Pernah suatu ketika aku mencoba mengelak darinya, bahkan bisa dikatakan membunuhnya, dengan cara mencoret nama, namun apa yang terjadi? Namun, semua terasa sia-sia, dan apa yang terjadi? Ia tertawa, yang tawanya semakin nyaring terdengar, bahkan semakin menjadi-jadi.

Tak hanya tawaan yang terdengar, ejekkan hinggap lalu memakiku, ia terus menderu bak mesin, atau gerumbulan lalat yang terus mengiang dalam benak. Sekuat apapun aku berlari, ia terus mengejarku.

perstan dengan nama itu, namun kata-kata tersebut bukannya membuat kau semakin tenang, aku hanya berusah menghibur diri saja, terkadang juga menghibur dirinya dengan makian yang lain.

Lalu menulisnya dengan sebuah huruf-huruf besar, dengan tinta berwarna merah. berharap bahwa tulisan tersebut dapat memberi penjelasan padanya, bahwa iya, aku membenci waktu yang datang secara tiba-tiba, setelah aku baru saja merasakan kenikmatan secangkir kopi, tanpa harus menatap dan mendengar orang berceloteh dengan menggunakan nalarnya, sebuah nalarnya yang telah berubah menjadi Tuhan.

Dan waktu itu juga, di mana aku harus terbangun dari mimpiku, hari yang mana aku harus menjalani kehidupan nyata, mengulang apa yang pernah terjadi, lalu membiarkan semuanya berlalu dan pada akhirnya terlupakan dan setelah datang aku mengutuknya kembali.

Lalu kenapa juga aku harus mengutuknya? Bukankah ini merupakan hari seperti hari yang pernah terlewatinya. Mungkin kedatangan hari itu, berupa hari Senen sebuah awal dari perjalanan akan sebuah rutinitas, atau juga karena aku merasa tersadarkan bahwa waktu ngopi pada hari santai telah usai. Tapi yang ku tahu bahwa aku mengutuknya.